BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam
perjalanan kehidupan manusia dibutuhkan usaha untuk dapat mensejahterakan
kehidupannya dalam memenuhi setiap kebutuhannya. Setiap
manusia ingin hidup dengan sejahtera, kondisi sejahtera yg dimaksud menunjuk
pada kesejahteran sosial, yaitu tercukupinya kebutuhan material dan
non-material. Dalam masyarakat Indonesia, kondisi sejahtera itu diartikan hidup
aman dan bahagia karena semua kebutuhan dasar dapat terpenuhi, seperti,
makanan, tempat tinggal, pakaian dan pendidikan yang semakin lama biayanya
semakin meningkat.
Kesejahteraan sosial menurut Friedlander
dalam Suud (2006:8) “kesejahteraan sosial merupakan sistem yang terorganisasi
dari pelayanan-pelayanan dan lembaga-lembaga sosial, yang dimaksudka untuk
membantu individu-individu dan kelompok-kelompok agar mencapai tingkat hidup
dan kesehatan yang memuaskan dan hubungan-hubungan personal dan sosial yang
memberi kesempatan kepada mereka untuk memperkembangkan seluruh kemampuan dan
untuk meningkatkan kesejahteraan sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan keluarga dan
masyarakatnya”. Kebanyakan dari masyarakat menuntut kesejahteraan dalam hidup
selalu diukur dengan banyak dan sedikitnya materi yang mereka miliki.
Terkadang untuk mendapatkan penghasilan
yang banyak masyarakat berusaha dengan menghalalkan segala cara, untuk memenuhi
kebutuhan mereka. Ada yang dengan usaha yang halal dan sungguh-sungguh, namun
tidak sedikit yang menggunakan cara praktis namun sangat menuai resiko dan
sedikit keluar dari norma masyarakat dan agama. Setiap manusia memiliki cara
dan persepsi yang berbeda untuk meraih kesuksesan yang banyak dikaitkan dengan
kata “kekayaan”.
Seiring perkembangan zaman nilai adat
jaman dahulu terkadang masih melekat sampai saat ini, tidak sedikit
daerah-daerah kecil di Indonesia yang memiliki budaya adat yang memiliki nilai
mistis dan menjadi mitos bagi masyarakat sekitar. Salah satunya daerah Pesarean
di Gunung Kawi, Malang, Jawa Timur. Banyak yang menilai daerah ini merupakan
daerah yang banyak terdapat pesugihan, banyak masyarakat yang percaya akan
mitos pesugihan yang berkembang di daerah tersebut namun banyak juga yang tidak
percaya akan mitos tersebut termasuk masyarakat yang tinggal di daerah
tersebut.
Bagi sebagian orang yang percaya akan
mitos tersebut mereka memiliki alasan masing-masing untuk datang ke daerah
Gunung Kawi tersebut yang dikenal banyak orang sebagai salah satu tempat wisata
pesugihan yang terdapat di Indonesia. Alasan mereka beragam, ada yang dating
berkunjung ke makam untuk berdoa meminta berkah rezeki, ada juga yang berdoa
untuk kesuksesan usaha dan kekayaan.
Dengan munculnya mitos dan kasus tersebut
yang menuai banyak pro dan kontra di masyarakat dalam hal ini dikaitkan dengan
alasan masyarakat atau pengunjung yang datang Gunung Kawi maka perlulah
pengkajian lebih dalam sehingga penulis memutuskan untuk meneliti atribusi
pengunjung ketika melakukan ritual di Gunung Kawi.
1.2
Rumusan
Masalah
1. Apa
alasan pengunjung melakukan ritual di Gunung Kawi?
1.3
Tujuan
Penelitian
1. Untuk
mengetahui alasan pengunjung yang datang ke Gunung Kawi
1.4
Manfaat
Penelitian
Dari
rumusan masalah diatas maka dapat disimpulkan bahwa manfaat dari penelitian ini
untuk mengetahui alasan dibalik perilaku pengunjung yang datang ke Gunung Kawi.
BAB II
KAJIAN
PUSTAKA
A.
Atribusi
Atribusi adalah sebuah teori yang
membahas tentang upaya-upaya yang dilakukan untuk memahami penyebab-penyebab
perilaku kita dan orang lain. Definisi formalnya, atribusi berarti upaya untuk
memahami penyebab di balik perilaku orang lain, dan dalam beberapa kasus juga
penyebab di balik perilaku kita sendiri. Sementara menurut Weiner (Weiner,
1980, 1992) atribusi adalah teori kontemporer yang paling berpengaruh dengan
implikasi untuk motivasi akademik. Hal ini dapat diartikan bahwa teori ini
mencakup modifikasi perilaku dalam arti bahwa ia menekankan gagasan bahwa
peserta didik sangat termotivasi dengan hasil yang menyenangkan untuk dapat
merasa baik tentang diri mereka sendiri. Teori yang dikembangkan oleh Bernard
Weiner ini merupakan gabungan dari dua bidang minat utama dalam teori psikologi
yakni motivasi dan penelitian atribusi.
Menurut Fritz Heider pencetus teori
atribusi, teori atribusi merupakan teori yang menjelaskan tentang perilaku
seseorang. Teori ini mengacu pada bagaimana seseorang menjelaskan penyebab
perilaku orang lain atau diri sendiri (Luthans, 1998dalam Menezes, 2008). Teoti
atribusi dari Heider atribusi merupakan analisis kausal, yaitu penafsiran
terhadap sebab-sebab dari mengapa sebuh fenomena menampilkan gejala-gejala
tertentu. Menurut Heider, ada dua sumber atribusi terhadap tingkah laku : (1)
atribusi internal atau disposisional; (2) atribusi eksternal atau lingkungan.
Pada atribusi internal kita menyimpulkan bahwa tingkah laku seseorang
disebabkan oleh sifat-sifat atau disposisi (unsur psikologis yang mendahului
tingkah laku). Pada atribusi eksternal kita menyimpulkan bahwa tingkah laku
seseorang disebabkan oleh situasi tempat orang itu berada.
Kelley (1967, 1972) mengajukan model
proses atribusi yang tidak lagi merujuk pada intense. Menurut Kelley, untuk
menjadikan tingkah laku konsisten, orang membuat atribusi personal ketika
konsesnsus dan kekhususan (distinctiveness)
rendah. Istilah atribusi mengacu kepada
penyebab suatu kejadian atau hasil menurut persepsi individu. Dan yang menjadi
pusat perhatian atau penekanan pada penelitian di bidang ini adalah cara-cara
bagaimana orang memberikan penjelasan sebab-sebab kejadian dan implikasi dari
penjelasan-penjelasan tersebut. Dengan kata lain, teori itu berfokus pada
bagaimana orang bisa sampai memperoleh jawaban atas pertanyaan “mengapa”?
(Kelly 1973).
Perilaku secara eksternal dilihat sebagai
hasil dari sebab – sebab
luar yaitu terpaksa berperilaku karena situasi (Robbins,1996).Penyebab perilaku
dalam persepsi sosial dikenal sebagai dispositional attribution dan situational attribution atau penyebab internal
dan eksternal(Robbins, 1996). Disposition attribution
atau penyebab internal mengacu pada 30 aspek perilaku individu, sesuatu
yang ada dalam diri seseorang seperti sifat pribadi persepsi diri, kemampuan
motivasi. Situational attribution atau penyebab eksternal mengacu pada
lingkungan yang mempengaruhi perilaku, seperti kondisisosial, nilai
sosial, pandangan masyarakat. Penentu atribusi atau penyebab apakah individu
atau situasi dipengaruhi oleh tiga faktor (Robbins, 1996):
1.Konsensus (consensus) : perilaku yang ditunjukkan jika semua orangyang menghadapi situasi yang serupa merespon
dengan cara yang sama,
2.Kekhususan
(distincveness) : perilaku yang ditunjukkan
individu berlainandalam situasi yang berlainan,
3.Konsistensi (consistency) : perilaku yang sama dalam tindakan
seseorangdari waktu ke waktu.
B. Pengunjung
Menurut International Union of
Offical Travel Organization (IOUTO, 1967) pengunjung, yaitu setiap orang
yang datang ke suatu negara atau tempat tinggal lain dan biasanya dengan maksud
apapun kecuali untuk melakukan pekerjaan yang menerima upah.
Pengertian yang sama disampaikan
oleh World Tourism Organization (WTO, 2004) yang dimaksud dengan pengunjung (visitor)
untuk tujuan statistik, setiap orang yang mengunjungi suatu negara yang
bukan merupakan negaranya sendiri dengan alasan apapun juga kecuali
untuk mendapatkan pekerjaan yang dibayar oleh negara yang
dikunjunginya.
Dengan demikian ada dua kategori pengunjung, yaitu :
1. Wisatawan (Tourist),
yaitu pengunjung yang tinggal sementara sekurangkurangnya selama 24 jam di
negara yang dikunjunginya dan tujuan perjalanannya dapat digolongkan kedalam
klasifikasi sebagai berikut :
·Pesiar (Leasure)
untuk kepentingan rekreasi, liburan, kesehatan, studi, keagamaan dan olah
raga.
·Hubungan
dagang (business), keluarga, konferensi, misi dan lain sebagainya.
2. Pelancong (Exursionist),
yaitu pengunjung sementara yang tinggal di suatu negara yang dikunjungi
dalam waktu kurang dari 24 jam.
Dari beberapa pengertian tersebut,
dalam studi ini yang dimaksud dengan pengunjung adalah seseorang yang melakukan
kunjungan pada obyek dan daya tarik wisata, yang dalam hal ini adalah obyek dan
daya tarik wisata Situ Bagendit Kabupaten Garut sebagai lokasi penelitian dalam
pengertian wisatawan.
Sedangkan Departemen Pariwisata
menggunakan definisi wisatawan adalah setiap orang yang melakukan perjalanan
dan menetap untuk sementara di tempat lain selain tempat tinggalnya, untuk
salah satu atau beberapa alasan selalu mencari pekerjaan. Bedasarkan pengertian
tersebut wisatawan dibagi menjadi dua, yaitu :
Definisi wisatawan dalam negeri berdasarkan World
Tourism Organization (WTO, 2004) adalah penduduk suatu negara yang
melakukan perjalanan ke suatu tempat di dalam wilayah negara tersebut,
namun diluar lingkungan tempat tinggalnya sehari-hari untuk jangka waktu
sekurang-kurangnya satu malam dan tidak lebih dari satu tahun dan tujuan
perjalanannya bukan untuk mendapatkan penghasilan dari tempat yang
dikunjungi tersebut.
2. Wisatawan Mancanegara
Pengertian wisatawan mancanegara (BPS, 1994)
didefinisikan sebagai orang yang melakukan perjalanan diluar negara tempat
tinggal biasanya selama kurang dari 12 bulan dari negara yang dikunjunginya. (Editor : N. Raymond Frans)
Desa
Wonosari terletak di lereng Gunung Kawi sebelah selatan, dengan ketinggian ±
800 M dari permukan laut yang merupakan hasil pemekaran dari Desa Kebobang
Kecamatan Ngajum pada tahun 1986, menjadi Desa Wonosari Kecamatan Wonosari
dengan jumlah penduduk 6.677 jiwa, yang membawahi 4 (empat) Dusun :
1. Dusun Wonosari.
2. Dusun Sumbersari.
3. Dusun Pijiombo.
4. Dusun Kampung Baru.
Dari 4 (empat) Dusun tersebut diatas mempunyai sejarah yang berbeda. Keberadaan Desa Wonosari yang merupakan Desa Wisata Ritual, yang banyak dikujungi oleh wisatawan domestik maupun manca negara, yang lebih dikenal dengan Wisata Ritual Gunung Kawi, adapun kehidupan kehidupan sosial masyarakatnya masih berpegang teguh pada istiadat dan budaya sebagai warisan leluhur yang dipertahankan hingga sekarang. Pada umumnya masyarakat Desa Wonosari bermata pencaharian sebagai petani dan wirausaha yang berkaitan dengan Wisata Ritual Gunung Kawi.
Dengan berkembangnya Wisata Ritual Gunung Kawi yang disertai dengan beragam budaya yang agamis, maka pada tahun 2002 oleh Bpk. Bupati Malang dicanangkan dan ditetapkan sebagai “Desa Wisata Ritual Gunung Kawi”.
Adapun kronologi terjadinya desa Wonosari yang diawali pada tahun 1986 adalah desa Persiapan setelah pemekaran wilayah kecamatan Ngajum Ke kecamatan Wonosari, pada saat itu kepala desa ( P.J Kepala Desa ) dijabat oleh Bpk. Tasmain. Kemudian pada tanggal 7 Maret tahun 1989 menjadi Desa Difinitip. Dan pada tahun 1990 terjadi pergantian kepala Desa oleh kepala desa P. Mulyo Setiyono hingga 1996, selanjutnya hingga pada tahun 1998 kepala desa dijabat oleh P. Banjir sebagai P.J.S (pejabat sementara) dikarenakan P. Mulyo Setiyono menjabat tidak sampai akhir jabatan. Kemudian pada tahun 1998 terjadi pemilihan kepala desa yang dijabat oleh Bapak Gigih Guntoro hingga masa jabatan tahun 2006, untuk selanjutnya tahun 2007 terjadi pemilihan kembali Kepala Desa yang dijabat oleh P. Kuswanto S.H. sebagai Kepala Desa Wonosari hingga sekarang.
A. Kronologi Sejarah Berdirinya Desa Wonosari
Setelah menyerahnya Pangeran Diponegoro pada Belanda pada tahun 1830, banyak pengikutnya dan pendukungnya yang melarikan diri kearah bagian timur pulau jawa yaitu Jawa Timur. Diantaranya selaku penasehat spiritual Pangeran Diponegoro yang bernama Eyang Djoego atau Kyai Zakaria, beliau pergi keberbagai daerah diantaranya Pati, Begelen, Tuban, lalu pergi kearah timur selatan (tenggara) ke daerah Malang yaitu Kepanjen.
Pengambaranya mencapai daerah Kesamben Blitar, tepatnya di dusun Djoego, desa Sanan, kecamatan Kesamben kabupaten Blitar. Diperkirakan beliau sampai di dusun Djoego sekitar ± tahun 1840, beliau di dusun Djoego ditemani sesepuh desa Sanan bernama Ki Tasiman. Setelah beliau berdiam didusun Djoego desa Sanan beberapa tahun antara dekade tahun 1840 - tahun1850 maka datanglah murid-muridnya yang juga putra angkat beliau yang bernama R.M. Jonet atau yang lebih dikenal dengan R.M. Iman Soedjono, beliau ini adalah salah satu dari para senopati Pangeran Diponegoro yang ikut melarikan diri kedaerah timur pulau jawa yaitu Jawa Timur, dalam pengembaraanya beliau telah menemukan seorang guru dan juga sebagai ayah angkat di daerah Kesamben Kabupaten Blitar tepatnya didusun Djoego desa Sanan, yaitu Panembahan Eyang Djoego ayau Kyai Zakaria, kemudian R.M. Iman Soedjono berdiam di dusun Djoego untuk membantu Eyang Djoego dalam mengelola padepokan Djoego.
Pada waktu itu padepokan Djoego telah berkembeng, banyak pengunjung menjadi murid Kanjeng Eyang Djoego. Beberapa tahun kemudian dalam dekade ± tahun 1850-tahun 1860, datanglah murid R.M. Iman Soedjono yang bernama Ki Moeridun dari Warungasem Pekalongan. Demikianlah setelah R.M.Iman Soedjono dan Ki Moeridun berdiam di Padepokan Djoego, beberapa waktu kemudian diperintahkan pergi ke Gunung Kawi di lereng sebelah selatan, untuk membuka hutan lereng selatan Gunung Kawi, beliau Kanjeng Eyang Djoego berpesan bahwa ditempat pembukaan hutan itulah beliau ingin dikramatkan (dimakamkan), beliau juga berpesan bahwa di desa itulah kelak akan menjadi desa yang ramai dan menjadi tempat pengungsian (imigran).
Dengan demikian maka berangkatlah R.M.Iman Soedjono bersama Ki Moeridun disertai beberapa murid Eyang Djoego berjumlah ± 40 orang, diantaranya :
1. Mbah Suro Wates
2. Mbah Kaji Dulsalam (Birowo)
3. Mbah Saiupan (Nyawangan)
4. Mbah Kaji Kasan Anwar (Mendit-Malang)
5. Mbah Suryo Ngalam Tambak Segoro
6. Mbah Tugu Drono
7. Ki Kromorejo
8. Ki Kromosari
9. Ki Haji Mustofa
10. Ki Haji Mustoha
11. Mbah Dawud
12. Mbah Belo
13. Mbah Wonosari
14. Den Suryo
15. Mbah Tasiman
16. Mbah Tundonegoro
17. Mbah Bantinegoro
18. Mbah Sainem
19. Mbah Sipat / Tjan Thian (kebangsaan Cina)
20. Mbah Cakar Buwono
21. Mbah Kijan / Tan Giok Tjwa (asal Ciang Ciu Hay Teng- RRC)
Maka berangkatlah R.M. Iman Soedjono dengan Ki Moeridun dan dibekali dua buah pusaka “Kudi Caluk dan Kudi Pecok” dengan membawa bekal secukupnya beserta tokoh-tokoh yang telah disebutkan namanya ditambah 20 orang sebagai penderek (pengikut), dan sebagai orang yang dipercaya untuk memimpin rombongan dan pembukaan hutan dipercayakan pada Mbah Wonosari .
Setelah segala kebutuhan pembekalan lengkap maka berangkatlah rombongan itu untuk babat hutan lereng sebelah selatan Gunung Kawi dengan pemimpin Mbah Wonosari. Setelah sampai dilereng selatan Gunung Kawi, rombongan beristirahat kemudian melanjutkan babat hutan dan bertemu dengan batu yang banyak dikerumuni semut sampai pertumpang-tumpang kemudian ditempat itu dinamakan Tumpang Rejo, setelah itu perjalanan diteruskan kearah utara disebuah jalan menanjak (jurang) dekat dengan pohon Lo (sebangsa pohon Gondang) disitu berhenti dan membuat Pawon (perapian) lama-kelamaan menjadi dusun yang bernama Lopawon, kemudian melanjutkan babat hutan menuju arah utara sampai kesebuah hutan bertemu sebuah Gendok (barang pecah belah untuk merebus jamu) yang terbuat dari tembaga, lama-kelamaan dinamakan dusun Gendogo. Setelah itu melenjutkan perjalanan kearah barat dan beristirahat dengan memakan bekal bersama-sama kemudian melihat pohon Bulu (sebangsa pohon apak/beringin) tumbuh berjajar dengan pohon nangka kemudian hutan itu disebut dengan Buluangko dan sekarang disebut dengan hutan Blongko, selesai makan bekal perjalanan dilanjutkan kearah barat sampai disebuah Gumuk (bukit kecil) yang puncaknya datar lalu dibabat untuk tempat darung (tempat untuk beristirahat dan menginap selama melakukan pekerjaan babat hutan, tempat istirahat sementara), kemudian tempat itu ditanami dua buah pohon kelapa, dan anehnya pohon kelapa yang satu tumbuh bercabang dua dan yang satunya tumbuh doyong /tidak tegak keatas sehingga tempat itu dinamakan Klopopang (pohon kelapa yang bercabang dua). Kemudian setelah mendapatkan tempat itirahat (darung) pembabatan hutan diteruskan kearah selatan sampai didaerah tugu (sekarang merupakan tempat untuk menyadran yang dikenal dengan nama Mbah Tugu Drono) dan diteruskan ke timur sampai berbatasan dengan hutan Bulongko, kemudian naik keutara sampai sungai yang sekarag ini dinamakan Kali Gedong, lalu kebarat sampai dekat dengan sumbersari, selesai semuanya kemudian membuat rumah untuk menetap juga sebagai padepokan, di rumah itulah R.M. Iman Soedjono dengan Ki Moeridun beserta seluruh anggota rombongan berunding untuk memberi nama tanah babatan itu. Karena yang memimpin pembabatan hutan itu bernama Ki Wonosari kemudian disepakati , nama daerah babatan itu bernama dusun Wonosari.
Karena pembabatan hutan dilereng selatan Gunung Kawi dianggap selesai, maka diutuslah salah satu pendereknya / pengikut untuk pulang kedusun Djoego. desa Sanan Kesamben,untuk melapor kepada Eyang Djoego dahwa pembabatan hutan dilereng selatan Gunung Kawi telah selesai dilakukan, setelah mendengar laporan dari utusan R.M. Iman Soedjono tersebut maka berangkatlah Kanjeng Eyang Djoego ke dusun Wonosari di lereng selatan Gunung Kawi yang baru selesai untuk memberikan petunjuk-petunjuk dan mengatur siapa saja yang harus menetap di dusun Wonosari dan siapa saja yang harus pulang ke dusun Djoego dan juga beliau berpesan bahwa bila beliau wafat agar dimakamkan (kramatkan) disebuah bukit kecil (Gumuk) yang diberi nama Gumuk Gajah Mungkur. Dengan adanya petunjuk itu lalu dibuatlah sebuah taman sari yang letaknya berada ditengah antara padepokan dan Gumuk Gajah Mungkur yang dulu terkenal dengan nama tamanan (sekarang tempat berdirinya masjid Agung Iman Soedjono). Dan siapa-siapa yang menetap di dusun Wonosari diantaranya ialah :
1. Kanjeng Eyang R.M. Iman Soedjono
2. Ki Moeridun
3. Mbah Bantu Negoro
4. Mbah Tuhu Drono
5. Mbah Kromo Rejo
6. Mbah Kromo Sasi
7. Mbah Sainem
8. Kyi Haji Mustofa
9. Kyai Haji Muntoha
10. Mbah Belo
11. Mbah Sifat / TjanThian
12. Mbah Suryo Ngalam Tambak Segoro
13. Mbah Kijan / Tan Giok Tjwa
Demikian diantaranya yang tinggal di dusun Wonosari yang baru jadi, yang lain ikut Kanjeng Eyang Djoego ke Dusun Djoego, Desa Sanan, Kesamben, Blitar. Dengan demikian Kanjeng Eyang Djoego sering bolak-balik dari dusun Djoego – Sanan – Kesamben ke Dusun Wonosari Gunung Kawi, untuk memberikan murid-muridnya yang berada di Wonosari Gunung Kawi wejangan dan petunjuknya.
Demikianlah dan pada hari Senen Pahing tanggal Satu Selo Th 1817 M,Kanjeng Eyang Djoego wafat. Dan jenasahnya dibawa dari dusun Djoego Kesamben ke dusun Wonosari Gunung Kawi, untuk di makamkan sesuai permintaan beliau yaitu di gumuk (bukit) Gajah Mungkur di selatan Gunung kawi .Dan tiba/ sampai di Gunung Kawi pada hari rabu wage malam, dan dikeramat (dimakamkan) pada hari kamis kliwon pagi.
Dengan wafatnya Kanjeng Eyang Djoego pada hari senen pahing, oleh Kanjeng Eyang R.M. Iman Soedjono, setiap hari senen pahing selalu diadakan sesaji dan selamatan. Apabila hari senen pahing tepat pada bulan selo, diikuti oleh seluruh penduduk desa Wonosari untuk mengadakan selamatan bersama pada pagi harinya.dan sampai sekarang terkenal dengan nama Barikan.
Sepeninggal Kanjeng Eyang Djoego – Dusun Wonosari menjadi banyak pengunjung, dan banyak pula para pendatang itu menetap di Dusun Wonosari, dikala itulah datang serombongan pendatang untuk ikut babat hutan, oleh Eyang R.M. Iman Soedjono diarahakan kearah barat Dusun Wonosari rombongan pendatang itu berasal dari babatan Kapurono yang dipimpin oleh :
1. Mbah Kasan Sengut (daerah asal Bhangelan)
2. Mbah Kasan Mubarot (tetap bertempat di babatan Kapurono)
3. Mbah Kasan Murdot (ikut Mbah kasan Sengut)
4. Mbah Kasan Munadi (ikut Mbah kasan Sengut)
Juga diikuti temannya bernama Mbah Modin Boani yang berasal dari Bangkalan Madura, bersama temannya Mbah Dul Amat juga berasal dari Madura, juga diikuti Mbah Ngatijan dari Singosari bederta teman-temannya.
Dengan demikian Dusun Wonosari bertambah luas dan penduduknya bertambah banyak. Karena dengan bertambah luasnya dusun juga karena bertambah banyaknya penduduk, maka diadakan musyawarah untuk mengangkat seorang pamong yag bisa menjadi panutan masyarakat dalam mengelola dusunnya yang masih baru itu, maka ditunjuklah salah seorang abdi Mbah Eyang R.M.Iman Soedjono yang bernama Mbah Warsiman sebagai bayan. Dengan demikian Mbah Warsiman sebagai pamong pertama Dusun Wonosari.
Pada masa Mbah Eyang R.M. Iman Soedjono antara tahun 1871-tahun1876, dating seorang wanita berkebangsaan Belanda bernama Ny. Scuhuller, seorang putri Residen Kediri dating keWonosari Gunung Kawi untuk berobat kepada Eynag R.M Iman Soedjono. Setelah sembuh Ny. Schuller tidak pulang ke Kediri melainkan menetap di Wonosari mengabdi pada Eyang R.M. Iman Soedjono sampai beliau wafat pada tahun 1876, Ny, Schuller kemudian pulang ke Kediri.
Pada tahun 1931 datang seorang Tiong Hwa yang bernama Ta Kie Yam (mpek Yam)untuk berziarah di Gunung Kawi, tapi pek Yam merasa tenang hidup di Gunung Kawi dan akhirnya dia menetap didusun Wonosari untuk ikut mengabdi kepada Kanjeng Eyang sekalian (Mbah Djoego dan R.M. Soedjono) dengan cara membangun jalan dari pesarehan sampai kebawah dekat stamplat, pek Yam pada wktu itu dibantu oleh beberapa orang temannya dari Surabaya dan juga ada seorang dari Singapura, setelah jalan itu jadi kemudian dilengkapai dengan beberapa gapura, mulai dari stanplat sampai dengan sarehan.
Pada hari rabu kliwon tahun 1876 M. Kanjeng Eyang R.M. Iman Soedjono wafat, dan dimakamkan berjajar dengan makam Kanjeng Mbah Djoego di Gumuk Gajah Mungkur. Sepeninggalan Eyang R.M. Iman Soejono, dusun Wonosari bertambah ramai, maka dalam mengelola dusun masyarakat bermusyawarah lagi untuk memilih Pamong atau Kamituwo. Maka terpilih seorang tokoh yang bernama Mbah Karni sebagai Kamituwo Pertama dukuh Wonosari. Dan seterusnya , dukuh Wonosari mempunyai Kamituwo berturut-turut sebagai berikut :
1. Kamituwo Mbah Karni
2. Kamituwo Mbah Karyo Tarikun
3. Kamituwo P. Nitirejo
4. Kamituwo P. Taselim
5. Kamituwo P . Setin
6. Kamituwo P. Kemat
7. Kamituwo P. Yahmin
8. Kamituwo P. Tasmu'i
Demikianlah nama-nama pejabat Kamituwo dusun Wonosari dalam dekade tahun 1876 – tahun 1965. untuk periode antara tahun 1965 – tahun 2001 Kamituwo yang manjabat sebagai berikut :
1. P. Tasmuin
2. P. Maduri
3. P. Kandar (carteker) orang plaosan
4. P. Tasma'in (kades pertama)
5. P. Sugiono Banjir
6. P. Paidi Sareh
Dengan demikian maka lengkaplah pejabat Kamituwo dusun Wonosari samapai diadakan pemecahan desa pada tahun 1986 dari desa Kebobang pisah menjadi desa sendiri, yaitu desa Wonosari.
B. Tradisi Adat yang Ada di Desa Wonosari
1. Tradisi Barik'an
Tradisi ini pertama kali diawali oleh Kanjeng R.M. Iman Soedjono yaitu detelah wafatnya Kanjeng Eyang Djoego yang jatuh pada hari senen pahing detiap bulan yang jatuh pada hari malam senin pahing, beliau selalu mengadakan sesaji dan slamatan untuk memperingati wafatnya Kanjeng Eyang Djoego, dan apabila pada bulan selo acara ini akan di ikuti oleh seluruh penduduk desa Wonosari, biasanya acara barik'an ini dilaksanakan pada pagi hari dihari senen pahing.
Acara slamatan barik'an ini diera Kamituwo P. Tamu'I, dengan melihat banyaknya penduduk yang mengikuti acara slamatan barik'an akhirny7a tempatnya dibagi menjadi dua tempat, untuk Wonosari bagian padepokan kebawah sampai di Selotumpeng warga mengikuti barik'an di padepokan, untuk daerah diatas padepokan kearah utara diikuti dusun Sumbersari ditambah kampung Sobrah dan sebagian masyarakat Pijiombo dan Kampung Baru dilaksanakan di Pesarehan.
Tradisi ini dimulai sejak wafatnya Kanjeng Eyang Djoegopada tahun 1871 oleh Knjeng R.M. Iman Soedjono, hinggga sekarang acara slamatan barik'an tetap berjalan dengan baik.
2. Tradisi Bersih Desa
Acara bersih desa ini pertama kali dilakukan pada era Kamituwo Mbah Karni yanag dilaksanakan setiap bulan Selo, karena pada bulan itu kegiatan masyarakat sudah ada renggangnya misalnya pajak-pajak sudah terbayar, tidak ada orang yang mempunyai hajat, dan kegiatan-kegiatan lainnya tinggal menunggu hasilnya khususnya pada bidang pertanian.
Pada awalnya Acara bersih desa ini pertama kali dilakukan dengan sederhana, yaitu dengan melakukan slamatan seadanya yang di ikuti seluruh penduduk dusun Wonosari, kemudian setelah berjalan beberapa waktu, lalu diadakan juga pagelaran Wayang Kulit yang dimulai pagi hari sampai dengan siang hari dengan ruwatan, dan juga pada malam harinya diadakan pagelaran Wayang Kulit biasa.
Untuk menentukan pelaksanaan bersih desa, para Pinisepuh desa dan tokoh-tokoh masyarakat berkumpul untuk bermusyawarah memilihkan hari yang baik untuk bersih desa.
3. Slamatan Adat, Tolak Balak Bulan Sapar dan Slamatan Jembatan di Wonosari
Tradisi ini pada awalnya terjadi pada awal pendudukan Nipon atau jaman Jepang antara tahun 1944 – tahun 1945 di Nusantara (Indonesia) khususnya pulau Jawa, terjadi bencana dengan menyebarnya wabah penyakit yang pes yang disebabkan oleh tikus, dan penyakit kolera begitu dasyatnya bencana itu, konon menurut cerita banxak orang yang mati yang disebabkan oleh wabah itu, hingga ada yang mengatakan pagi sakit sore meninggal, dan sore sakit pagi meninggal hingga waktu itu disebut dengan jaman pagebluk.
Pada jaman pagebluk, penyebaran penyakit pes dan kolera (epiderni) begitu meluas, yang terparah adalah didesa-desa, karena jauh dari dinas kesehatan oleh karena itu korban yang terbanyak adalah orang desa. Pada waktu itu orang-orang Jawa didesa percaya bahwa bencana pagebluk itu terjadi karena Kanjeng Ratu Roro Kidul sebagai penguasa laut kidul (samudra hindia) sedang menyebarkan prajuritnya untuk memcari orang untuk dibawa kelaut kidulsebagai budak penguasa laut kidul, maka disebarkan penyakit pes dan kolera,sehingga denga mudah mengambil jiwa-jiwa orang yang diperlukan.
Pada jaman itu begitu hebatnya penyakit itu sehingga menyebabkan banyak orang desa yang mengungsi, tidak berani berada di rumah atau tidur didalam rumah hingga keadaan dusun menjadi sunyi sepi, dengan melihat keadaan yang memprihatinkan itu, para pamong beserta pinisepuh dan tokoh masyarakat dusun Wonosari, kemudian berkumpul untuk bermusyawarah mencari cara untuk menyelesaikan masalah yang sedang terjadi. Lalu disepakati oleh pamong, tokoh masyarakat dan pinisepuh untuk berprihatin dengan berpuasa memohon petunjuk kepada Allah Yang Maha Kuasa. Selain itu juga menyuruh orang untuk pergi keorang-orang tua yang pintar dan mengerti. Akhirnya mandapatkan petunjuk untuk slamatan tolak balak yang harus dilaksanakan diperempatan dusun, dengan adanya petunjuk atau wangsit tersebut maka dilaksanakanlah slamatan tolak balak dengan di ikuti seluruh penduduk Wonosari beserta pamongnya pada bulan Sapar, dan dilaksanakan pada pagi hari.
Dari tahun ketahun tradisi slamatan tolak balak dibulan Sapar, terus dilakukan hingga pembangunan jembatan di dusun Wonosari sebelah selatan (stamplat) pada waktu terjadi sesuatu yang aneh, waktu jembatan terbuat dari kayu Glugu (pohon kelapa) setiap kali jembatan selasai dikerjakan, pada malam harinya runtuh hal tersebut terjadi berulang kali, hingga pada suatu hari lewat seorang yang bernama Aris daari desa Sumbertempur dan tiba-tiba Aris dan kudanya jatuh terplosok kebawah jembatan, dsetelah kejadian itu, selang dua atau tiga hari datang seorang dalang bernama mbah Wirindan, pada pagi-pagi hari sepulang dari mendalng di Sumber Manggis, tiba-tiba jatuh dan kesurupan, dimana beliau mengatakan harus slamati dan mengadakan kesenian tayub oleh among dan parapinisepuh, akhirnya dilaksankanlah slamatan dan kesenian andong (tayub keliling) dan itu terjadi tepat dibulan Sapar. Setelah itu jembatan tidak pernah runtuh lagi dan keadaanmenjadi tenang.
Bertahun-tahun kemudian dengan dibukanya jalan raya dari Wonosari melalui dusun Bumirejo sampai ke Ngebyongan desa Tumpang Rejo, kendaraan roda empat bisa langsung masuk sampai dusun WonosariGunung Kawi ( sebelumnya melewati dusun Gendogo dengan menaiki kuda), dikarenakan itulah jembatan dari kayu glugu perlu diperbaiki dan siperkuat sehingga oleh bapak kamituwo yang pada saat itu didipin oleh P. Tasmui jembatan dibongkar dan diperbaiki diganti dengan beton. Dan terjadi keanehan lagi, setiap siangnya selesai dibangun, malanya roboh lagi, masalah itu terjadi berulang kali hingga membuat pusing para pamong dan pemborong jembatan karena tak kunjung selesai, akhirnya disepakati para pamong desa dan para pinisepuh untuk berprihatin memohon wangsit dan petunjuk kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, selang bebrapa waktu, kemudian para pinisepuh mendapat wangsit, bahwa diatas jembatan harus diadakan slamatan setelah itu harus diadakan kesenian tari remo dan tayuban didekat jembatan. Oleh para pamong acara itu diadakan tepat pada bulan Sapar bersama dengan acara slamatan tolak balak dusun Wonosari, setelah dilaksanakan slamatan dan kesenian tayub diatas jembatan akhirnya pembangunan jembatan bisa dibangun sesuai rencana.
Demikianlah dusun Wonosari dengan segala tradisi dan adat istiadatnya yang telah berjalan puluhan tahun sampai sekarang.
D. Kronologi Sejarah Dusun Wonosari
Diperkirakan antara tahun 1871 - tahun1876, datang rombongan dari desa Babatan Kapurono yang dipimpin oleh Mbah Kasan Sengut yang aslinya berasal dari Begelen Jawa Tengah, bersama dengan saudaranya yang bernama Mbah Kasan Munadi juga diikuti oleh beberapa temannya (sahabat) yang bernama Mbah modin atau Mbah Srani dan Mbah Dul Amat yang daerah asalnya Bangkalan Madura, juga Nijan dari singosari dengan beberapa orang pengikut.
Mereka datang untuk mencari tanah atau hutan yang bisa dibuka untuk dusun baru, sewaktu bertemu dengan Kanjeng Eyang R.M.Iman Soedjono rombongan itu disarankan untuk babat hutan sebelah barat dusun Wonosari, maka dilaksanakanlah membuka hutan sebelah barat dusun Wonosari yang dipimpin oleh Mbah Kasan Sengut. Setelah selesai malakukan pembabatan hutan, maka dinamakanlah dusun Babatan, tetapi lama-kelamaan dengan ditemukan banyak sumber mata air dan ada pula sumber mata air yang cukup besar didaerah itu, maka nama dusun itu manjadi dusun Babatan Sumbersari kemudian menjadi dusun Sumbersari.
Seiring dengan bertambahnya penduduk diwaktu itu, dusun Sumbersari dipimpin oleh seorang pamong, dan nama-nama sebagai Bayan antara lain :
1. Bayan P. Darim
2. Bayan P. Jari Kabul
3. Bayan P. Saimun
4. Bayan P. Astro
5. Bayan P. Tunah
6. Bayan P. Rasimun
Dan selama itu dusun Sumbersari tetap bergabung dengan dusun Wonosari sebagai dusun induk, karena kedudukan kamituwa berada di Wonosari. Setelah Wonosari menjadi desa sendiri terpisah dari desa Tumpang Rejo, kemudian dusun Sumbersari pamongnya menjadi Kamituwo atau kepala dusun, dengan nama-nama urutan kamituwo dusun Sunbersari sebagai berikut :
1. Kamituwo P. Tasemat
2. Kamituwo P. Yuliadi
3. Kamituwo P. Yon Supriyono
Selain itu dusun Sumbersari mempunyai adat bersih dusun yang juga dilaksanakan setiap bulan Selo. Biasanya acara bersih dusun ini selalu mengadakan slamatan yang diikuti seluruh penduduk Sumbersari yang dilaksakan di sumber air pada pagi harinya, dan pada sore harinya dirumah Kamituwo setempat.
Menurut adat tiap-tiap bersih dusun selalu diadakan pagelaran wayang kulit, berbeda dengan adat slamatan tolak balak bulan Sapar, didusun Sumbersari slamatan dilakukan pada pagi hari diperempatan dusun dengan nasi dalam Gendok dengan lauk telor ditanak didalam nasi yang disebut slamatan Sego Uduk.
II.2. Sejarah Berdirinya Pasarean Gunung Kawi
1. Dusun Wonosari.
2. Dusun Sumbersari.
3. Dusun Pijiombo.
4. Dusun Kampung Baru.
Dari 4 (empat) Dusun tersebut diatas mempunyai sejarah yang berbeda. Keberadaan Desa Wonosari yang merupakan Desa Wisata Ritual, yang banyak dikujungi oleh wisatawan domestik maupun manca negara, yang lebih dikenal dengan Wisata Ritual Gunung Kawi, adapun kehidupan kehidupan sosial masyarakatnya masih berpegang teguh pada istiadat dan budaya sebagai warisan leluhur yang dipertahankan hingga sekarang. Pada umumnya masyarakat Desa Wonosari bermata pencaharian sebagai petani dan wirausaha yang berkaitan dengan Wisata Ritual Gunung Kawi.
Dengan berkembangnya Wisata Ritual Gunung Kawi yang disertai dengan beragam budaya yang agamis, maka pada tahun 2002 oleh Bpk. Bupati Malang dicanangkan dan ditetapkan sebagai “Desa Wisata Ritual Gunung Kawi”.
Adapun kronologi terjadinya desa Wonosari yang diawali pada tahun 1986 adalah desa Persiapan setelah pemekaran wilayah kecamatan Ngajum Ke kecamatan Wonosari, pada saat itu kepala desa ( P.J Kepala Desa ) dijabat oleh Bpk. Tasmain. Kemudian pada tanggal 7 Maret tahun 1989 menjadi Desa Difinitip. Dan pada tahun 1990 terjadi pergantian kepala Desa oleh kepala desa P. Mulyo Setiyono hingga 1996, selanjutnya hingga pada tahun 1998 kepala desa dijabat oleh P. Banjir sebagai P.J.S (pejabat sementara) dikarenakan P. Mulyo Setiyono menjabat tidak sampai akhir jabatan. Kemudian pada tahun 1998 terjadi pemilihan kepala desa yang dijabat oleh Bapak Gigih Guntoro hingga masa jabatan tahun 2006, untuk selanjutnya tahun 2007 terjadi pemilihan kembali Kepala Desa yang dijabat oleh P. Kuswanto S.H. sebagai Kepala Desa Wonosari hingga sekarang.
A. Kronologi Sejarah Berdirinya Desa Wonosari
Setelah menyerahnya Pangeran Diponegoro pada Belanda pada tahun 1830, banyak pengikutnya dan pendukungnya yang melarikan diri kearah bagian timur pulau jawa yaitu Jawa Timur. Diantaranya selaku penasehat spiritual Pangeran Diponegoro yang bernama Eyang Djoego atau Kyai Zakaria, beliau pergi keberbagai daerah diantaranya Pati, Begelen, Tuban, lalu pergi kearah timur selatan (tenggara) ke daerah Malang yaitu Kepanjen.
Pengambaranya mencapai daerah Kesamben Blitar, tepatnya di dusun Djoego, desa Sanan, kecamatan Kesamben kabupaten Blitar. Diperkirakan beliau sampai di dusun Djoego sekitar ± tahun 1840, beliau di dusun Djoego ditemani sesepuh desa Sanan bernama Ki Tasiman. Setelah beliau berdiam didusun Djoego desa Sanan beberapa tahun antara dekade tahun 1840 - tahun1850 maka datanglah murid-muridnya yang juga putra angkat beliau yang bernama R.M. Jonet atau yang lebih dikenal dengan R.M. Iman Soedjono, beliau ini adalah salah satu dari para senopati Pangeran Diponegoro yang ikut melarikan diri kedaerah timur pulau jawa yaitu Jawa Timur, dalam pengembaraanya beliau telah menemukan seorang guru dan juga sebagai ayah angkat di daerah Kesamben Kabupaten Blitar tepatnya didusun Djoego desa Sanan, yaitu Panembahan Eyang Djoego ayau Kyai Zakaria, kemudian R.M. Iman Soedjono berdiam di dusun Djoego untuk membantu Eyang Djoego dalam mengelola padepokan Djoego.
Pada waktu itu padepokan Djoego telah berkembeng, banyak pengunjung menjadi murid Kanjeng Eyang Djoego. Beberapa tahun kemudian dalam dekade ± tahun 1850-tahun 1860, datanglah murid R.M. Iman Soedjono yang bernama Ki Moeridun dari Warungasem Pekalongan. Demikianlah setelah R.M.Iman Soedjono dan Ki Moeridun berdiam di Padepokan Djoego, beberapa waktu kemudian diperintahkan pergi ke Gunung Kawi di lereng sebelah selatan, untuk membuka hutan lereng selatan Gunung Kawi, beliau Kanjeng Eyang Djoego berpesan bahwa ditempat pembukaan hutan itulah beliau ingin dikramatkan (dimakamkan), beliau juga berpesan bahwa di desa itulah kelak akan menjadi desa yang ramai dan menjadi tempat pengungsian (imigran).
Dengan demikian maka berangkatlah R.M.Iman Soedjono bersama Ki Moeridun disertai beberapa murid Eyang Djoego berjumlah ± 40 orang, diantaranya :
1. Mbah Suro Wates
2. Mbah Kaji Dulsalam (Birowo)
3. Mbah Saiupan (Nyawangan)
4. Mbah Kaji Kasan Anwar (Mendit-Malang)
5. Mbah Suryo Ngalam Tambak Segoro
6. Mbah Tugu Drono
7. Ki Kromorejo
8. Ki Kromosari
9. Ki Haji Mustofa
10. Ki Haji Mustoha
11. Mbah Dawud
12. Mbah Belo
13. Mbah Wonosari
14. Den Suryo
15. Mbah Tasiman
16. Mbah Tundonegoro
17. Mbah Bantinegoro
18. Mbah Sainem
19. Mbah Sipat / Tjan Thian (kebangsaan Cina)
20. Mbah Cakar Buwono
21. Mbah Kijan / Tan Giok Tjwa (asal Ciang Ciu Hay Teng- RRC)
Maka berangkatlah R.M. Iman Soedjono dengan Ki Moeridun dan dibekali dua buah pusaka “Kudi Caluk dan Kudi Pecok” dengan membawa bekal secukupnya beserta tokoh-tokoh yang telah disebutkan namanya ditambah 20 orang sebagai penderek (pengikut), dan sebagai orang yang dipercaya untuk memimpin rombongan dan pembukaan hutan dipercayakan pada Mbah Wonosari .
Setelah segala kebutuhan pembekalan lengkap maka berangkatlah rombongan itu untuk babat hutan lereng sebelah selatan Gunung Kawi dengan pemimpin Mbah Wonosari. Setelah sampai dilereng selatan Gunung Kawi, rombongan beristirahat kemudian melanjutkan babat hutan dan bertemu dengan batu yang banyak dikerumuni semut sampai pertumpang-tumpang kemudian ditempat itu dinamakan Tumpang Rejo, setelah itu perjalanan diteruskan kearah utara disebuah jalan menanjak (jurang) dekat dengan pohon Lo (sebangsa pohon Gondang) disitu berhenti dan membuat Pawon (perapian) lama-kelamaan menjadi dusun yang bernama Lopawon, kemudian melanjutkan babat hutan menuju arah utara sampai kesebuah hutan bertemu sebuah Gendok (barang pecah belah untuk merebus jamu) yang terbuat dari tembaga, lama-kelamaan dinamakan dusun Gendogo. Setelah itu melenjutkan perjalanan kearah barat dan beristirahat dengan memakan bekal bersama-sama kemudian melihat pohon Bulu (sebangsa pohon apak/beringin) tumbuh berjajar dengan pohon nangka kemudian hutan itu disebut dengan Buluangko dan sekarang disebut dengan hutan Blongko, selesai makan bekal perjalanan dilanjutkan kearah barat sampai disebuah Gumuk (bukit kecil) yang puncaknya datar lalu dibabat untuk tempat darung (tempat untuk beristirahat dan menginap selama melakukan pekerjaan babat hutan, tempat istirahat sementara), kemudian tempat itu ditanami dua buah pohon kelapa, dan anehnya pohon kelapa yang satu tumbuh bercabang dua dan yang satunya tumbuh doyong /tidak tegak keatas sehingga tempat itu dinamakan Klopopang (pohon kelapa yang bercabang dua). Kemudian setelah mendapatkan tempat itirahat (darung) pembabatan hutan diteruskan kearah selatan sampai didaerah tugu (sekarang merupakan tempat untuk menyadran yang dikenal dengan nama Mbah Tugu Drono) dan diteruskan ke timur sampai berbatasan dengan hutan Bulongko, kemudian naik keutara sampai sungai yang sekarag ini dinamakan Kali Gedong, lalu kebarat sampai dekat dengan sumbersari, selesai semuanya kemudian membuat rumah untuk menetap juga sebagai padepokan, di rumah itulah R.M. Iman Soedjono dengan Ki Moeridun beserta seluruh anggota rombongan berunding untuk memberi nama tanah babatan itu. Karena yang memimpin pembabatan hutan itu bernama Ki Wonosari kemudian disepakati , nama daerah babatan itu bernama dusun Wonosari.
Karena pembabatan hutan dilereng selatan Gunung Kawi dianggap selesai, maka diutuslah salah satu pendereknya / pengikut untuk pulang kedusun Djoego. desa Sanan Kesamben,untuk melapor kepada Eyang Djoego dahwa pembabatan hutan dilereng selatan Gunung Kawi telah selesai dilakukan, setelah mendengar laporan dari utusan R.M. Iman Soedjono tersebut maka berangkatlah Kanjeng Eyang Djoego ke dusun Wonosari di lereng selatan Gunung Kawi yang baru selesai untuk memberikan petunjuk-petunjuk dan mengatur siapa saja yang harus menetap di dusun Wonosari dan siapa saja yang harus pulang ke dusun Djoego dan juga beliau berpesan bahwa bila beliau wafat agar dimakamkan (kramatkan) disebuah bukit kecil (Gumuk) yang diberi nama Gumuk Gajah Mungkur. Dengan adanya petunjuk itu lalu dibuatlah sebuah taman sari yang letaknya berada ditengah antara padepokan dan Gumuk Gajah Mungkur yang dulu terkenal dengan nama tamanan (sekarang tempat berdirinya masjid Agung Iman Soedjono). Dan siapa-siapa yang menetap di dusun Wonosari diantaranya ialah :
1. Kanjeng Eyang R.M. Iman Soedjono
2. Ki Moeridun
3. Mbah Bantu Negoro
4. Mbah Tuhu Drono
5. Mbah Kromo Rejo
6. Mbah Kromo Sasi
7. Mbah Sainem
8. Kyi Haji Mustofa
9. Kyai Haji Muntoha
10. Mbah Belo
11. Mbah Sifat / TjanThian
12. Mbah Suryo Ngalam Tambak Segoro
13. Mbah Kijan / Tan Giok Tjwa
Demikian diantaranya yang tinggal di dusun Wonosari yang baru jadi, yang lain ikut Kanjeng Eyang Djoego ke Dusun Djoego, Desa Sanan, Kesamben, Blitar. Dengan demikian Kanjeng Eyang Djoego sering bolak-balik dari dusun Djoego – Sanan – Kesamben ke Dusun Wonosari Gunung Kawi, untuk memberikan murid-muridnya yang berada di Wonosari Gunung Kawi wejangan dan petunjuknya.
Demikianlah dan pada hari Senen Pahing tanggal Satu Selo Th 1817 M,Kanjeng Eyang Djoego wafat. Dan jenasahnya dibawa dari dusun Djoego Kesamben ke dusun Wonosari Gunung Kawi, untuk di makamkan sesuai permintaan beliau yaitu di gumuk (bukit) Gajah Mungkur di selatan Gunung kawi .Dan tiba/ sampai di Gunung Kawi pada hari rabu wage malam, dan dikeramat (dimakamkan) pada hari kamis kliwon pagi.
Dengan wafatnya Kanjeng Eyang Djoego pada hari senen pahing, oleh Kanjeng Eyang R.M. Iman Soedjono, setiap hari senen pahing selalu diadakan sesaji dan selamatan. Apabila hari senen pahing tepat pada bulan selo, diikuti oleh seluruh penduduk desa Wonosari untuk mengadakan selamatan bersama pada pagi harinya.dan sampai sekarang terkenal dengan nama Barikan.
Sepeninggal Kanjeng Eyang Djoego – Dusun Wonosari menjadi banyak pengunjung, dan banyak pula para pendatang itu menetap di Dusun Wonosari, dikala itulah datang serombongan pendatang untuk ikut babat hutan, oleh Eyang R.M. Iman Soedjono diarahakan kearah barat Dusun Wonosari rombongan pendatang itu berasal dari babatan Kapurono yang dipimpin oleh :
1. Mbah Kasan Sengut (daerah asal Bhangelan)
2. Mbah Kasan Mubarot (tetap bertempat di babatan Kapurono)
3. Mbah Kasan Murdot (ikut Mbah kasan Sengut)
4. Mbah Kasan Munadi (ikut Mbah kasan Sengut)
Juga diikuti temannya bernama Mbah Modin Boani yang berasal dari Bangkalan Madura, bersama temannya Mbah Dul Amat juga berasal dari Madura, juga diikuti Mbah Ngatijan dari Singosari bederta teman-temannya.
Dengan demikian Dusun Wonosari bertambah luas dan penduduknya bertambah banyak. Karena dengan bertambah luasnya dusun juga karena bertambah banyaknya penduduk, maka diadakan musyawarah untuk mengangkat seorang pamong yag bisa menjadi panutan masyarakat dalam mengelola dusunnya yang masih baru itu, maka ditunjuklah salah seorang abdi Mbah Eyang R.M.Iman Soedjono yang bernama Mbah Warsiman sebagai bayan. Dengan demikian Mbah Warsiman sebagai pamong pertama Dusun Wonosari.
Pada masa Mbah Eyang R.M. Iman Soedjono antara tahun 1871-tahun1876, dating seorang wanita berkebangsaan Belanda bernama Ny. Scuhuller, seorang putri Residen Kediri dating keWonosari Gunung Kawi untuk berobat kepada Eynag R.M Iman Soedjono. Setelah sembuh Ny. Schuller tidak pulang ke Kediri melainkan menetap di Wonosari mengabdi pada Eyang R.M. Iman Soedjono sampai beliau wafat pada tahun 1876, Ny, Schuller kemudian pulang ke Kediri.
Pada tahun 1931 datang seorang Tiong Hwa yang bernama Ta Kie Yam (mpek Yam)untuk berziarah di Gunung Kawi, tapi pek Yam merasa tenang hidup di Gunung Kawi dan akhirnya dia menetap didusun Wonosari untuk ikut mengabdi kepada Kanjeng Eyang sekalian (Mbah Djoego dan R.M. Soedjono) dengan cara membangun jalan dari pesarehan sampai kebawah dekat stamplat, pek Yam pada wktu itu dibantu oleh beberapa orang temannya dari Surabaya dan juga ada seorang dari Singapura, setelah jalan itu jadi kemudian dilengkapai dengan beberapa gapura, mulai dari stanplat sampai dengan sarehan.
Pada hari rabu kliwon tahun 1876 M. Kanjeng Eyang R.M. Iman Soedjono wafat, dan dimakamkan berjajar dengan makam Kanjeng Mbah Djoego di Gumuk Gajah Mungkur. Sepeninggalan Eyang R.M. Iman Soejono, dusun Wonosari bertambah ramai, maka dalam mengelola dusun masyarakat bermusyawarah lagi untuk memilih Pamong atau Kamituwo. Maka terpilih seorang tokoh yang bernama Mbah Karni sebagai Kamituwo Pertama dukuh Wonosari. Dan seterusnya , dukuh Wonosari mempunyai Kamituwo berturut-turut sebagai berikut :
1. Kamituwo Mbah Karni
2. Kamituwo Mbah Karyo Tarikun
3. Kamituwo P. Nitirejo
4. Kamituwo P. Taselim
5. Kamituwo P . Setin
6. Kamituwo P. Kemat
7. Kamituwo P. Yahmin
8. Kamituwo P. Tasmu'i
Demikianlah nama-nama pejabat Kamituwo dusun Wonosari dalam dekade tahun 1876 – tahun 1965. untuk periode antara tahun 1965 – tahun 2001 Kamituwo yang manjabat sebagai berikut :
1. P. Tasmuin
2. P. Maduri
3. P. Kandar (carteker) orang plaosan
4. P. Tasma'in (kades pertama)
5. P. Sugiono Banjir
6. P. Paidi Sareh
Dengan demikian maka lengkaplah pejabat Kamituwo dusun Wonosari samapai diadakan pemecahan desa pada tahun 1986 dari desa Kebobang pisah menjadi desa sendiri, yaitu desa Wonosari.
B. Tradisi Adat yang Ada di Desa Wonosari
1. Tradisi Barik'an
Tradisi ini pertama kali diawali oleh Kanjeng R.M. Iman Soedjono yaitu detelah wafatnya Kanjeng Eyang Djoego yang jatuh pada hari senen pahing detiap bulan yang jatuh pada hari malam senin pahing, beliau selalu mengadakan sesaji dan slamatan untuk memperingati wafatnya Kanjeng Eyang Djoego, dan apabila pada bulan selo acara ini akan di ikuti oleh seluruh penduduk desa Wonosari, biasanya acara barik'an ini dilaksanakan pada pagi hari dihari senen pahing.
Acara slamatan barik'an ini diera Kamituwo P. Tamu'I, dengan melihat banyaknya penduduk yang mengikuti acara slamatan barik'an akhirny7a tempatnya dibagi menjadi dua tempat, untuk Wonosari bagian padepokan kebawah sampai di Selotumpeng warga mengikuti barik'an di padepokan, untuk daerah diatas padepokan kearah utara diikuti dusun Sumbersari ditambah kampung Sobrah dan sebagian masyarakat Pijiombo dan Kampung Baru dilaksanakan di Pesarehan.
Tradisi ini dimulai sejak wafatnya Kanjeng Eyang Djoegopada tahun 1871 oleh Knjeng R.M. Iman Soedjono, hinggga sekarang acara slamatan barik'an tetap berjalan dengan baik.
2. Tradisi Bersih Desa
Acara bersih desa ini pertama kali dilakukan pada era Kamituwo Mbah Karni yanag dilaksanakan setiap bulan Selo, karena pada bulan itu kegiatan masyarakat sudah ada renggangnya misalnya pajak-pajak sudah terbayar, tidak ada orang yang mempunyai hajat, dan kegiatan-kegiatan lainnya tinggal menunggu hasilnya khususnya pada bidang pertanian.
Pada awalnya Acara bersih desa ini pertama kali dilakukan dengan sederhana, yaitu dengan melakukan slamatan seadanya yang di ikuti seluruh penduduk dusun Wonosari, kemudian setelah berjalan beberapa waktu, lalu diadakan juga pagelaran Wayang Kulit yang dimulai pagi hari sampai dengan siang hari dengan ruwatan, dan juga pada malam harinya diadakan pagelaran Wayang Kulit biasa.
Untuk menentukan pelaksanaan bersih desa, para Pinisepuh desa dan tokoh-tokoh masyarakat berkumpul untuk bermusyawarah memilihkan hari yang baik untuk bersih desa.
3. Slamatan Adat, Tolak Balak Bulan Sapar dan Slamatan Jembatan di Wonosari
Tradisi ini pada awalnya terjadi pada awal pendudukan Nipon atau jaman Jepang antara tahun 1944 – tahun 1945 di Nusantara (Indonesia) khususnya pulau Jawa, terjadi bencana dengan menyebarnya wabah penyakit yang pes yang disebabkan oleh tikus, dan penyakit kolera begitu dasyatnya bencana itu, konon menurut cerita banxak orang yang mati yang disebabkan oleh wabah itu, hingga ada yang mengatakan pagi sakit sore meninggal, dan sore sakit pagi meninggal hingga waktu itu disebut dengan jaman pagebluk.
Pada jaman pagebluk, penyebaran penyakit pes dan kolera (epiderni) begitu meluas, yang terparah adalah didesa-desa, karena jauh dari dinas kesehatan oleh karena itu korban yang terbanyak adalah orang desa. Pada waktu itu orang-orang Jawa didesa percaya bahwa bencana pagebluk itu terjadi karena Kanjeng Ratu Roro Kidul sebagai penguasa laut kidul (samudra hindia) sedang menyebarkan prajuritnya untuk memcari orang untuk dibawa kelaut kidulsebagai budak penguasa laut kidul, maka disebarkan penyakit pes dan kolera,sehingga denga mudah mengambil jiwa-jiwa orang yang diperlukan.
Pada jaman itu begitu hebatnya penyakit itu sehingga menyebabkan banyak orang desa yang mengungsi, tidak berani berada di rumah atau tidur didalam rumah hingga keadaan dusun menjadi sunyi sepi, dengan melihat keadaan yang memprihatinkan itu, para pamong beserta pinisepuh dan tokoh masyarakat dusun Wonosari, kemudian berkumpul untuk bermusyawarah mencari cara untuk menyelesaikan masalah yang sedang terjadi. Lalu disepakati oleh pamong, tokoh masyarakat dan pinisepuh untuk berprihatin dengan berpuasa memohon petunjuk kepada Allah Yang Maha Kuasa. Selain itu juga menyuruh orang untuk pergi keorang-orang tua yang pintar dan mengerti. Akhirnya mandapatkan petunjuk untuk slamatan tolak balak yang harus dilaksanakan diperempatan dusun, dengan adanya petunjuk atau wangsit tersebut maka dilaksanakanlah slamatan tolak balak dengan di ikuti seluruh penduduk Wonosari beserta pamongnya pada bulan Sapar, dan dilaksanakan pada pagi hari.
Dari tahun ketahun tradisi slamatan tolak balak dibulan Sapar, terus dilakukan hingga pembangunan jembatan di dusun Wonosari sebelah selatan (stamplat) pada waktu terjadi sesuatu yang aneh, waktu jembatan terbuat dari kayu Glugu (pohon kelapa) setiap kali jembatan selasai dikerjakan, pada malam harinya runtuh hal tersebut terjadi berulang kali, hingga pada suatu hari lewat seorang yang bernama Aris daari desa Sumbertempur dan tiba-tiba Aris dan kudanya jatuh terplosok kebawah jembatan, dsetelah kejadian itu, selang dua atau tiga hari datang seorang dalang bernama mbah Wirindan, pada pagi-pagi hari sepulang dari mendalng di Sumber Manggis, tiba-tiba jatuh dan kesurupan, dimana beliau mengatakan harus slamati dan mengadakan kesenian tayub oleh among dan parapinisepuh, akhirnya dilaksankanlah slamatan dan kesenian andong (tayub keliling) dan itu terjadi tepat dibulan Sapar. Setelah itu jembatan tidak pernah runtuh lagi dan keadaanmenjadi tenang.
Bertahun-tahun kemudian dengan dibukanya jalan raya dari Wonosari melalui dusun Bumirejo sampai ke Ngebyongan desa Tumpang Rejo, kendaraan roda empat bisa langsung masuk sampai dusun WonosariGunung Kawi ( sebelumnya melewati dusun Gendogo dengan menaiki kuda), dikarenakan itulah jembatan dari kayu glugu perlu diperbaiki dan siperkuat sehingga oleh bapak kamituwo yang pada saat itu didipin oleh P. Tasmui jembatan dibongkar dan diperbaiki diganti dengan beton. Dan terjadi keanehan lagi, setiap siangnya selesai dibangun, malanya roboh lagi, masalah itu terjadi berulang kali hingga membuat pusing para pamong dan pemborong jembatan karena tak kunjung selesai, akhirnya disepakati para pamong desa dan para pinisepuh untuk berprihatin memohon wangsit dan petunjuk kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, selang bebrapa waktu, kemudian para pinisepuh mendapat wangsit, bahwa diatas jembatan harus diadakan slamatan setelah itu harus diadakan kesenian tari remo dan tayuban didekat jembatan. Oleh para pamong acara itu diadakan tepat pada bulan Sapar bersama dengan acara slamatan tolak balak dusun Wonosari, setelah dilaksanakan slamatan dan kesenian tayub diatas jembatan akhirnya pembangunan jembatan bisa dibangun sesuai rencana.
Demikianlah dusun Wonosari dengan segala tradisi dan adat istiadatnya yang telah berjalan puluhan tahun sampai sekarang.
D. Kronologi Sejarah Dusun Wonosari
Diperkirakan antara tahun 1871 - tahun1876, datang rombongan dari desa Babatan Kapurono yang dipimpin oleh Mbah Kasan Sengut yang aslinya berasal dari Begelen Jawa Tengah, bersama dengan saudaranya yang bernama Mbah Kasan Munadi juga diikuti oleh beberapa temannya (sahabat) yang bernama Mbah modin atau Mbah Srani dan Mbah Dul Amat yang daerah asalnya Bangkalan Madura, juga Nijan dari singosari dengan beberapa orang pengikut.
Mereka datang untuk mencari tanah atau hutan yang bisa dibuka untuk dusun baru, sewaktu bertemu dengan Kanjeng Eyang R.M.Iman Soedjono rombongan itu disarankan untuk babat hutan sebelah barat dusun Wonosari, maka dilaksanakanlah membuka hutan sebelah barat dusun Wonosari yang dipimpin oleh Mbah Kasan Sengut. Setelah selesai malakukan pembabatan hutan, maka dinamakanlah dusun Babatan, tetapi lama-kelamaan dengan ditemukan banyak sumber mata air dan ada pula sumber mata air yang cukup besar didaerah itu, maka nama dusun itu manjadi dusun Babatan Sumbersari kemudian menjadi dusun Sumbersari.
Seiring dengan bertambahnya penduduk diwaktu itu, dusun Sumbersari dipimpin oleh seorang pamong, dan nama-nama sebagai Bayan antara lain :
1. Bayan P. Darim
2. Bayan P. Jari Kabul
3. Bayan P. Saimun
4. Bayan P. Astro
5. Bayan P. Tunah
6. Bayan P. Rasimun
Dan selama itu dusun Sumbersari tetap bergabung dengan dusun Wonosari sebagai dusun induk, karena kedudukan kamituwa berada di Wonosari. Setelah Wonosari menjadi desa sendiri terpisah dari desa Tumpang Rejo, kemudian dusun Sumbersari pamongnya menjadi Kamituwo atau kepala dusun, dengan nama-nama urutan kamituwo dusun Sunbersari sebagai berikut :
1. Kamituwo P. Tasemat
2. Kamituwo P. Yuliadi
3. Kamituwo P. Yon Supriyono
Selain itu dusun Sumbersari mempunyai adat bersih dusun yang juga dilaksanakan setiap bulan Selo. Biasanya acara bersih dusun ini selalu mengadakan slamatan yang diikuti seluruh penduduk Sumbersari yang dilaksakan di sumber air pada pagi harinya, dan pada sore harinya dirumah Kamituwo setempat.
Menurut adat tiap-tiap bersih dusun selalu diadakan pagelaran wayang kulit, berbeda dengan adat slamatan tolak balak bulan Sapar, didusun Sumbersari slamatan dilakukan pada pagi hari diperempatan dusun dengan nasi dalam Gendok dengan lauk telor ditanak didalam nasi yang disebut slamatan Sego Uduk.
II.2. Sejarah Berdirinya Pasarean Gunung Kawi
Pasarean Gunung Kawi
adalah tempat pemakaman bagi dua tokohkharismatis yang hingga saat ini masih
tetap di ziarahi, bahkan pada
saat-saat tertentu ribuan orang berziarah ke tempat ini. Di pasarean tersebutdimakamkan tokoh yang berasal dari keraton Mataram abad ke-19, yakniKanjeng Kyai Zakaria II dan Raden Mas Iman Soedjono. Yang pertamadisebut adalah keturunan penguasa Mataram Kartasura yang
memerintah Pada abad 18, sedangkan yang kedua adalah keturunan penguasa keraton
mataram Yogyakarta yang memerintah pada abad yang sama (Soeryowidagdo,
1989:3).Kedua tokoh ini dikabarkan menurut sejarah lisan sebagai guru danmurid.
Kyai Zakaria II atau R.M. Soeryokoesoemo adalah keturunan dari Kyai
Zakaria I, dimana Kyai
Zakaria I adalah anak dari B.P.H. Diponegoro. Beliau adalah
pengikut setia dari Pangeran Diponegoro dan turut bertempur melawan melawan
Belanda pada Perang Diponegoro tahun 1825 -1830.
KetikaDiponegoro ditangkap
oleh Belanda di Magelang, beliau dan muridnya
(ImanSoedjono) mengembara ke berbagai daerah di Jawa. Ketika Diponegorotertangkap
Kyai Zakaria II tidak lagi menggunakan nama bangsawannya danberganti nama
menjadi Sadjoego atau disingkat menjadi Mbah Djoego.Adapun Raden
Mas Iman Soedjono memiliki daftar silsilah yang
lebihlengkap dan tercatat dalam
Surat Kekancingan atau Surat Bukti
Silsilah
dariKeraton Ngayogyakarta Hadiningrat tertanggal 23 Juni 1964. R.M. Iman Soedjono
adalah keturunan dari R.A. Tumenggung Notodipo dan K.R.Tumenggung Notodipo,
atau cicit dari Sri Sultan Hamengku Buwono I. R.M.Iman Soedjono menikah dengan
anggota Laskar Langen Koesoemo, laskar prajurit wanita dari laskar
Diponegoro, Raden Ayu Saminah.Seperti halnya Kyai Zakaria II, R.M. Iman
Soedjono juga turut berjuangmelawan Belanda, ketika Diponegoro tertangkap ia dan Kyai Zakaria IImengembara
ke berbagai daerah terpencil. Kyai Zakaria II berganti namamenjadi Mbah Djoego,
sedangkan R.M Iman Soedjono tetap menggunakannamanya, hanya saja ia
meninggalkan gelar kebangsawanannya. R.M.
ImanSoedjono juga dikenal dengan nama Mbah Kromoredjo. Kyai Zakaria IImeninggal di padepokannya di desa
Sanan Jugo, Kecamatan Kesamben,Blitar, tanggal 1 Bulan Zulhijjah
tahun 1799 atau 22 Januari 1871. SedangkanR.M. Iman Soedjono meninggal pada 12
Muharram 1805 atau 8 Februari1876. Saat ini yang menjadi juru kunci dari
Pasarean Gunung Kawi adalahketurunan dari R.M. Iman Soedjono, yakni Raden Asim Nitirejo(Soeryowidagdo,
1989:8-17).
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif
berarti penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan
kualitatif adalah suatu proses penelitian dan pemahaman yang berdasarkan pada
metodologi yang menyelidiki suatu fenomena sosial dan masalah manusia. Pada
pendekatan ini, peneliti membuat suatu gambaran kompleks, meneliti kata-kata,
laporan terinci dari pandangan responden, dan melakukan studi pada situasi yang
alami (Creswell, 1998).
Bogdan dan Taylor mengemukakan bahwa metodologi kualitatif
merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa
kata-kata tertulis maupun lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati.
(Moleong, 2007)
Penelitian kualitatif
dilakukan pada kondisi alamiah dan bersifat penemuan karena menggunakan
pendekatan fenomenologis. Fenomenologis merupakan ilmu yang mempelajari tentang
perkembangan kesadaran dan pengenalan diri manusia yang berkaitan dengan ilmu
filsafat (Yuwono, 1994).
Dalam penelitian
kualitatif, peneliti adalah instrumen kunci. Oleh karena itu, peneliti harus
memiliki bekal teori dan wawasan yang luas jadi bisa bertanya, menganalisis,
dan mengkonstruksi obyek yang diteliti menjadi lebih jelas. Penelitian ini
lebih menekankan pada makna dan terikat nilai. Penelitian kualitatif digunakan
jika masalah belum jelas, untuk mengetahui makna yang tersembunyi, untuk
memahami interaksi sosial, untuk mengembangkan teori, untuk memastikan
kebenaran data, dan meneliti sejarah perkembangan.
B.
Teknik
Pemilihan Subjek
Dalam
penelitian ini, karakteristik subjek adalah sebagai berikut:
Subjek
penelitian ini adalah beberapa pengunjung dari
berbagai etnis yang berada di sekitar pesarean dan
padepokan,
dengan situasi yang terjadi pada saat penelitian berlangsung dan masyarakat sekitar
Gunung Kawi.
C.
Metode
pengumpulan data
Metode pengumpulan data yang digunakan adalah dengan observasi. Beberapa
informasi yang diperoleh dari hasil observasi adalah ruang (tempat), pelaku,
kegiatan, objek, perbuatan, kejadian atau peristiwa, waktu, dan perasaan.
Alasan peneliti melakukan observasi adalah untuk menyajikan gambaran realistik
perilaku atau kejadian, untuk menjawab pertanyaan, untuk membantu mengerti
perilaku manusia, dan untuk evaluasi yaitu melakukan pengukuran terhadap aspek
tertentu melakukan umpan balik terhadap pengukuran tersebut.
Bungin mengemukakan beberapa bentuk observasi yang dapat digunakan dalam
penelitian kualitatif, yaitu observasi partisipasi, observasi tidak
terstruktur, dan observasi kelompok tidak terstruktur. Beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam observasi adalah topografi, jumlah dan durasi, intensitas
atau kekuatan respon, stimulus kontrol (kondisi dimana perilaku muncul), dan
kualitas perilaku (Moleong, 2007:3).
Dalam penelitian ini menggunakan observasi
nonpartisipatif kelompok tidak terstruktur, yang menggunakan alat bantu
penelitian kamera dan catatan. Selain menggunakan observasi, peneliti juga
menggunakan teknik wawancara. Wawancara merupakan alat re-cheking atau pembuktian terhadap informasi atau keterangan yang
diperoleh sebelumnya dari observasi. Teknik wawancara yang digunakan dalam
penelitian kualitatif adalah wawancara mendalam. Wawancara mendalam (in–depth interview) adalah proses
memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil
bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai,
dengan atau tanpa menggunakan pedoman wawancara, di mana pewawancara dan
informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan seorang
peneliti saat mewawancarai responden adalah intonasi suara, kecepatan
berbicara, sensitifitas pertanyaan, kontak mata, dan kepekaan nonverbal. Dalam
mencari informasi, peneliti melakukan dua jenis wawancara, yaitu autoanamnesa (wawancara yang dilakukan
dengan subjek atau responden) dan aloanamnesa
(wawancara dengan keluarga responden). Peneliti melakukan wawancara mulai
dengan pertanyaan yang mudah, mulai dengan informasi fakta, hindari pertanyaan
multiple, jangan menanyakan pertanyaan pribadi sebelum building raport, ulang
kembali jawaban untuk klarifikasi, berikan kesan positif, dan kontrol emosi
negatif.
D.
Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan adalah
fenomenologi. Langkah-langkah analisis data pada studi fenomenologi, yaitu:
1.
Peneliti memulai
mengorganisasikan semua data atau gambaran menyeluruh tentang fenomena
pengalaman yang telah dikumpulkan.
2.
Membaca data secara
keseluruhan dan membuat catatan pinggir mengenai data yang dianggap penting
kemudian melakukan pengkodean data.
3.
Menemukan dan
mengelompokkan makna pernyataan yang dirasakan oleh responden dengan melakukan
horizonaliting yaitu setiap pernyataan pada awalnya diperlakukan memiliki nilai
yang sama. Selanjutnya, pernyataan yang tidak relevan dengan topik dan
pertanyaan maupun pernyataan yang bersifat repetitif atau tumpang tindih
dihilangkan, sehingga yang tersisa hanya horizons (arti tekstural dan unsur
pembentuk atau penyusun dari phenomenon yang tidak mengalami penyimpangan).
4.
Pernyataan tersebut
kemudian di kumpulkan ke dalam unit makna lalu ditulis gambaran tentang
bagaimana pengalaman tersebut terjadi.
5.
Selanjutnya peneliti
mengembangkan uraian secara keseluruhan dari fenomena tersebut sehingga
menemukan esensi dari fenomena tersebut. Kemudian mengembangkan textural description (mengenai fenomena
yang terjadi pada responden) dan structural
description (yang menjelaskan bagaimana fenomena itu terjadi).
6.
Peneliti kemudian
memberikan penjelasan secara naratif mengenai esensi dari fenomena yang
diteliti dan mendapatkan makna pengalaman responden mengenai fenomena tersebut.
7.
Membuat laporan
pengalaman setiap partisipan. Setelah itu, gabungan dari gambaran tersebut
ditulis.
E.
Keabsahan
Banyak hasil penelitian kualitatif
diragukan kebenarannya karena beberapa hal, yaitu subjektivitas peneliti
merupakan hal yang dominan dalam penelitian kualitatif, alat penelitian yang
diandalkan adalah wawancara dan observasi mengandung banyak kelemahan ketika
dilakukan secara terbuka dan apalagi tanpa kontrol, dan sumber data kualitatif
yang kurang credible akan mempengaruhi hasil akurasi penelitian. Oleh karena
itu, dibutuhkan beberapa cara menentukan keabsahan data, yaitu:
1. Kredibilitas
Apakah proses dan hasil penelitian dapat diterima
atau dipercaya. Beberapa kriteria dalam menilai adalah lama penelitian,
observasi yang detail, triangulasi, per debriefing, analisis kasus negatif,
membandingkan dengan hasil penelitian lain, dan member check. Cara memperoleh
tingkat kepercayaan hasil penelitian, yaitu:
a. Memperpanjang masa pengamatan memungkinkan peningkatan derajat kepercayaan data yang dikumpulkan, bisa mempelajari kebudayaan dan dapat menguji informasi dari responden, dan untuk membangun kepercayaan para responden terhadap peneliti dan juga kepercayaan diri peneliti sendiri.
b. Pengamatan yang terus menerus, untuk menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur dalam situasi yang sangat relevan dengan persoalan atau isu yang sedang diteliti, serta memusatkan diri pada hal-hal tersebut secara rinci.
c. Triangulasi, pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data tersebut.
a. Memperpanjang masa pengamatan memungkinkan peningkatan derajat kepercayaan data yang dikumpulkan, bisa mempelajari kebudayaan dan dapat menguji informasi dari responden, dan untuk membangun kepercayaan para responden terhadap peneliti dan juga kepercayaan diri peneliti sendiri.
b. Pengamatan yang terus menerus, untuk menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur dalam situasi yang sangat relevan dengan persoalan atau isu yang sedang diteliti, serta memusatkan diri pada hal-hal tersebut secara rinci.
c. Triangulasi, pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data tersebut.
d. Peer debriefing (membicarakannya dengan orang lain) yaitu
mengekspos hasil sementara atau hasil akhir yang diperoleh dalam bentuk diskusi
analitik dengan rekan-rekan sejawat.
e. Mengadakan member
check yaitu dengan menguji kemungkinan dugaan-dugaan yang berbeda dan
mengembangkan pengujian-pengujian untuk mengecek analisis, dengan mengaplikasikannya
pada data, serta dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang data.
2. Transferabilitas
yaitu apakah hasil penelitian ini dapat diterapkan pada situasi yang lain.
3. Dependability yaitu
apakah hasil penelitian mengacu pada kekonsistenan peneliti dalam mengumpulkan
data, membentuk, dan menggunakan konsep-konsep ketika membuat interpretasi
untuk menarik kesimpulan.
4. Konfirmabilitas
yaitu apakah hasil penelitian dapat dibuktikan kebenarannya dimana hasil
penelitian sesuai dengan data yang dikumpulkan dan dicantumkan dalam laporan
lapangan. Hal ini dilakukan dengan membicarakan hasil penelitian dengan orang
yang tidak ikut dan tidak berkepentingan dalam penelitian dengan tujuan agar
hasil dapat lebih objektif.
F.
Reliabilitas
Reliabilitas
penelitian kualitatif dipengaruhi oleh definisi konsep yaitu suatu konsep dan
definisi yang dirumuskan berbeda-beda menurut pengetahuan peneliti, metode
pengumpulan dan analisis data, situasi dan kondisi sosial, status dan kedudukan
peneliti dihadapan responden, serta hubungan peneliti dengan responden.(IAHS)
BAB IV
HASIL DAN
PEMBAHASAN
3.1 Hasil dan
Pembahasan
a) Open Coding
Peneliti membentuk kategori informasi tentang peristiwa dipelajari.
Identifikasi Subjek 1
Nama
|
PS
|
Umur
|
47
|
Asal
|
Malang
|
Tujuan ke
G.Kawi
|
Berziara ke
pesarean
|
Atribusi ke
G.Kawi
|
Ingin
mendapatkan berkah
|
Waktu
Berkunjung
|
Jumat
Legi/21.45 WIB
|
Bentuk Ritual
|
Berdoa di
depan makam dan di bawah pohon dewandaru
|
Peneliti
|
Galih Rinaldy
|
Identifikasi Subjek 2
Nama
|
IA
|
Umur
|
42
|
Asal
|
Semarang
|
Tujuan ke
G.Kawi
|
Berziarah
|
Atribusi ke
G.Kawi
|
Ruwatan
|
Waktu
Berkunjung
|
Jumat
Legi/21.55 WIB
|
Bentuk Ritual
|
Berdoa di
depan altar, meletakkan kertas bertuliskan
nama toko yang ingin di ruwat
|
Peneliti
|
Galih Rinaldy
|
1.
Identifikasi Tempat Keramat :
a. Rumah Eyang Sujo
Rumah padepokan ini semula
dikuasakan kepada pengikut terdekat Eyang Sujo yang bernama Ki Maridun. Di
tempat ini terdapat berbagai peninggalan yang dikeramatkan milik Eyang Sujo,
antara lain adalah bantal dan guling yang berbahan batang pohon kelapa, serta
tombak pusaka semasa perang Diponegoro.
a.
Guci Kuno
Dua buah guci kuno
merupakan peninggalan Eyang Jugo. Pada jaman dulu guci kuno ini dipakai untuk
menyimpan air suci untuk pengobatan. Masyarakat sering menyebutnya dengan nama
'janjam'. Guci kuno ini sekarang diletakkan di samping kiri pesarean.
Masyarakat meyakini bahwa dengan meminum air dari guci ini akan membuat
seseorang menjadi awet muda.
b.
Pohon Dewandaru
Di area pesarean, terdapat
pohon yang dianggap akan mendatangkan keberuntungan. Pohon ini disebut pohon
dewandaru, pohon kesabaran. Pohon yang termasuk jenis cereme Belanda ini oleh
orang Tionghoa disebut sebagai shian-to atau pohon dewa. Eyang Jugo dan Eyang
Sujo menanam pohon ini sebagai perlambang daerah ini aman. Untuk mendapat
'simbol perantara kekayaan, para peziarah menunggu dahan, buah dan daun jatuh
dari pohon. Begitu ada yang jatuh, mereka langsung berebut. Untuk
memanfaatkannya sebagai azimat, biasanya daun itu dibungkus dengan selembar uang
kemudian disimpan ke dalam dompet.
Namun, untuk mendapatkan daun dan buah dewandaru diperlukan kesabaran. Hitungannya bukan hanya, jam, bisa berhari-hari, bahkan berbulan-bulan. Bila harapan mereka terkabul, para peziarah akan datang lagi ke tempat ini untuk melakukan syukuran.
Namun, untuk mendapatkan daun dan buah dewandaru diperlukan kesabaran. Hitungannya bukan hanya, jam, bisa berhari-hari, bahkan berbulan-bulan. Bila harapan mereka terkabul, para peziarah akan datang lagi ke tempat ini untuk melakukan syukuran.
2.
Identifikasi Waktu Pengunjung
:
Tabel 1. Waktu
Pengunjung Ke Gunung Kawi
Waktu
|
Dimensi
|
Senin Pahing
|
Banyak
|
Jumat Legi
|
Banyak
|
Syuro
|
Banyak
|
Imlek
|
Sedikit
|
Tahun baru
jawa
|
Banyak
|
Hari
Libur/cuti bersama
|
Banyak
|
3.
Identifiasi Bentuk Ritual
Tabel 2. Kategori
Bentuk Ritual
Properti
|
Dimensi
|
Bersemedi
|
Jarang
|
Mengelilingi
makam dgn arah berlawanan jam sebanyak 7x
|
Jarang
|
Berdoa pada
tembok makam
|
Sering
|
Berdoa pada
pager warna silver
|
Jarang
|
Berdoa
dibawah pohon dewandaru
|
Sering
|
Berdoa di
depan pintu utama makam
|
Sering
|
Meletakkan
sesaji dan membakar dupa
|
Sering
|
Berdoa di
padepokan Eyang Sujo
|
Sering
|
4.
Identifikasi Bentuk Nadzar
Tabel 3. Kategori
Bentuk Nadzar
Properti
|
Dimensi
|
Memberi Uang
|
Banyak
|
Memberi Barang
(lilin, kalender, jam dinding, dll)
|
Banyak
|
Mengadakan
selamatan dan membawa makanan (spti : ayam dlm jumlah banyak)
|
Banyak
|
5.
Identifikasi Alasan Pengunjung
Tabel 4. Katagori Alasan Pengunjung
Properti
|
Dimensi
|
Mendapat
Berkah
|
Banyak
|
Jalan-jalan
|
Banyak
|
Tradisi
turun-temurun
|
Banyak
|
Ingin Punya
Anak
|
Sedikit
|
Ruwatan
|
Banyak
|
b)
Axial Coding
Pengidentifikasian suatu peristiwa,
menyelidiki kondisi-kondisi yang menyebabkannya, mengidentifikasi setiap
kondisi-kondisi, dan menggambarkan peristiwa tersebut.
Causal Condition
|
Central Phenomenon
|
Kesuksesan
Tradisi turun
temurun
Ruwatan
toko baru
Ingin punya
anak
Jalan-jalan
Mendapatkan
berkah
|
Alasan
pengunjung melakukan ritual digunung kawi.
|
Content
|
Consequence
|
Ingin
kehidupan yang lebih baik
|
Mendapatan
kesuksesan
Cepat
diberikan anak
Supaya toko
barunya laris
|
Strategies
|
Intervening Conditioning
|
Memberikan sumbangan
(uang atau barang)
Sesajen (bunga
dan kemenyan)
|
Lebih sukses
Usaha yang dia
jalankan lancar
Mendapatkan
anak
|
c)
Selective Coding
Pengidentifikasian suatu jalan cerita dan
mengintegrasikan kategori di dalam model axial coding. Berdasarkan axial
coding yang telat peneliti cantumkan diatas, didapatkan kesimpulan berupa Alasan
utama pengunjung melakukan rituan digunung kawi adalah menginginkan kehidupan
yang lebih baik seperti mendapatkan kesuksesan ketika menjalankan suatu usaha,toko
barunya laris, adapun bentuk dari tradisi turun temurun yang dilakukan oleh
keluarga besarnya sejak dahulu.
BAB V
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari
hasil penelitian ini dapat disimpulkan Bahwa :
1. Pengunjung yang mendatangi gunung kawi memiliki
alasan dan tujuan yang berbeda-beda.
2. Ada pengunjung yang hanya ingin jalan-jalan
bersama keluarga, bukan untuk melakukan ritual di Gunung Kawi.
3. Ada sedikit pengunjung yang meminta atau berdoa di
Gunung Kawi agar cepat diberikan keturunan.
4. Pengunjung yang tidak melakukan ritual biasanya
mereka melakukan pemberkatan (ruwatan) untuk usaha mereka yang baru buka.
5. Banyak ritual di Gunung Kawi yang bisa dilakukan dengan
tujuan yang berbeda.
6. Ada beberapa bentuk nadzar yang diberikan jika
pengunjung tersebut mencapai tujuannya.
B.
Saran
Saran
yang dapat peneliti berikan :
1. Untuk mendapatkan kesuksesan atau memohon rezeki
atau sekedar dimudahkan urusan, banyak hal yang bisa dilakukan selain melakukan
ritual, masyarakat tetap bisa meminta kepada Tuhan untuk semua permohonan.
2. Sebaiknya dalam setiap usaha mintalah doa kepada
Tuhan untuk mendapatkan berkah dari setiap rezeki yang diberikan.
3. Pertahankan nilai budaya yang ada di masyarakat
tanpa harus melakukan hal yang bertentangan dengan norma dan nilai agama.
DAFTAR PUSTAKA
Bungin,
B. 2007. Penelitian Kualitatif. Jakarta : Prenada Media Group.
Bungin,
B. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta : PT Rajagrafindo
Persada.
Creswell,
J. W. 1998. Qualitatif Inquiry and Research Design. California : Sage
Publications.
Herdiansyah,
Haris. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta:
Salemba Humanika.
Sarwono,
Sarlito. dan Meinarno, Eko. 2009. Psikologi
Sosial. Jakarta : Salemba Humanika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar